Hujan.
Aroma hujan.
Dinginnya.
Warna-warna setelah hujan.
Titik
hujan yang jatuh di kaca depan mobil, kemudian tersapu wiper, jatuh lagi, dan
tersapu kembali. Persis sperti kenangan-kenangan yang pernah terjadi. Ingin
dilupakan, namun kemudian datang kembali.
Hujan di bulan Desember.
Sayup dingin.
Aroma penghianatan.
Tusukan belati di punggung yang nyerinya masih terasa sampai saat ini. Perih
yang terjadi kemudian. Bukan karena alkohol yang disiramkan, belati yang sama
menancap lebih dalam. Lebih banyak luka. Nyaris kehabisan darah dan menyerah.
Beruntungnya saya, kita tidak menyerah.
Ya, kita. Dua
manusia yang pernah salah. Pernah saling melukai. Kita yang selalu berusaha
melangkah maju. Berdua. Aku dan kamu yang kemudian menjadi kita.
Bersyukurnya
saya.
Hidup bersama semua kenangan itu. Belajar menerima, karena
menolak tidak ada dalam daftar pilihan. Seperti hawa dingin saat hujan.
Dan
belajar mempercayai kembali. Tidak mudah memang. Banyak kesalah pahaman
terjadi. Yang terbaik memang membiarkannya larut dalam waktu. Berkompromi,
memaafkan, hidup dengannya. Menerima. Menerima bahwa kesalahan memang terjadi.
Bahwa manusia bisa salah dan bisa memperbaiki.
Sampai hal tersebut terasa ringan. Seringan pembicaraan
tentang bentuk awan pagi tadi di sela-sela kopi hangat kita. Dengan senyum di
sudut bibir. Senyum di hati kita masing-masing.
'Pak, we're doing great as a team. I
can't even imagine i can survive all of this without your support. Let's travel and get old together!'.
I Love you Pakbu.
No comments:
Post a Comment