Sedikit kilas
balik kejadian sakitnya Raya yang lumayan bikin ibunya lumayan panik.
Disclaimer
dulu ya, sebelum lanjut cerita :
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mendiskreditkan profesi atau rumah
sakit tertentu. Murni hanya untuk berbagi pengalaman pribadi.
Manggala Raya, menjelang 18 bulan (19 April 2017)
Alhamdulillah, Raya termasuk anak yang jarang banget sakit. Meskipun begitu, obat batuk pilek panas yang generik + termometer selalu tersedia di kantong obatnya Raya.
Pokoknya selalu merasa well prepared, pede, dan tenang.
Katanya, anak-anak rentan sekali terpapar virus. Apalagi
jika ada teman sepermainannya yang sudah sakit duluan, namanya anak-anak ya
memang ga bisa kalo ga main bareng. Jadi waktu itu ada keponakan, temen mainnya
Raya sehari-hari, yang sudah sakit pilek duluan, ya tetep aja ga mau misah
mainnya. Awal sakit pilek, seperti biasa, ibunya tenang-tenang aja.
Sabtu, 25 Maret 2017. Raya pilek isi panas sedikit. Panasnya
masih di area 37-37,4 °C. Belum minum obat. Kebetulan hari itu ada acara 3
bulanan saudara. Ibunya pede aja ngajak Raya kondangan. Anaknya hepi + ga bisa
diem juga sih ya. Makannya masih bagus disini.
Oh iya, Raya sampai
sekarang masih makan sayuran kukus + lauk yang ibunya buat sendiri. Belum kena
makanan-makanan dan minuman-minuman ringan tak sehat, susu (selain ASI) pun
belum. Ibunya masih bisa galak ke orang-orang sekitarnya :)
Minggu, 26 Maret 2017.
Bapak Raya tiba di rumah siang harinya. Memang rencana mau liburan Nyepi
bareng. Anaknya masih panas. Ibunya juga masih santai. Sekarang isi batuk
sedikit. Mulai minum obat batuk + pilek
karena udah mulai susah bernapas, dan obat panas (kalau panas diatas
37,5 °C).
Mulai susah makan. Tapi nyusunya tambah kenceng.
Senin, 27 Maret 2017. Batuk, pilek + panas. Disini Raya mulai
bangun dini hari karena panas badannya tinggi. Jam 3 dini hari panasnya sampe
38,9 °C.
Raya kami ajak pulang kampung di Tabanan (rumah asalnya Ibu) untuk liburan Nyepi.
Rencana liburan pun kami urungkan.
Selasa, 28 Maret 2017. Nyepi. Masih batuk pilek + panas. Dan
masih kebangun dini hari karena panas tinggi. Sama bapaknya sudah berencana,
kalo sampe besok panasnya belum turun kita langsung ke dokter, karena sudah
lewat 3 hari. Disini Raya masih anteng (dalam artian ga rewel), masih tetep ga
bisa diem (biasanya ga bisa diem pake banget). Malemnya meskipun gelap, anaknya
ga rewel. Anteng aja diajak nonton bintang sampe ketiduran.
Rabu, 29 Maret 2017. Dini hari, Raya kebangun. Nangis. Suhu
badannya tinggi. 38,8 °C. Langsung minum obat penurun panas. Disusui sampe
tertidur. Bangun paginya, bukannya seger. Anaknya malah lemes-lemes aktif, dan
badannya masih agak anget. Bapak dan Ibu Raya langsung siap-siap balik Denpasar
buat ke dokter.
Jalan utama Tabanan - Denpasar sehari setelah Nyepi (hari
Ngembak Geni) adalah jalur padat merayap ramai banget. Sepanjang jalan, Raya
yang biasanya duduk sendiri di carseat-nya saya pangku. Sambil terus saya
susui. Suhu badannya masih anget. Sepanjang perjalanan masih berupaya menelpon
ke klinik tempat dokter anaknya praktek. Masih belum diangkat. Sepertinya masih
tutup ya? Nyepi dan Ngembak Geni adalah hari libur umum di Bali. Saya tidak punya (tidak pernah menanyakan
sebelumnya) nomer telepon dokter anak langganannya Raya.
Disini saya merasa
bodoh. Bodoh karena tidak pernah menanyakan lokasi praktek lain dokternya.
Bodoh karena tidak pernah menanyakan nomer telepon dokternya yang bisa
dihubungi pada situasi darurat seperti sekarang.
Sampai akhirnya pasrah. Karena mikirnya juga sama-sama
dokter anak, yang penting diperiksa dulu biar ketahuan ini sakitnya apa. Akhirnya
buat janji ke dokter anak di suatu rumah sakit. Bukan dokter anak langganannya
Raya. Dapet nomer terakhir di dokter anak yang buka, sambil terus berusaha menghubungi
tempat praktek dokter anak langganannya.
Masuk ruangan dokter. Ada yang aneh. Dokternya langsung
membuat kesimpulan-kesimpulan. Tanpa bertanya detail mengenai kondisi Raya.
Yang membuat saya dan suami terhenyak adalah ketika dokter anak tersebut langsung
memberikan obat anal (tanpa bertanya dan memberi penjelasan mengenai obat
tersebut sebelumnya) kemudian mengatakan 'no candy sayang untuk sementara, no
ice cream'.
Well, Raya anak kami.
Sudah hak kami untuk mengetahui segala jenis obat dan pengobatan yang diberikan
pada Raya. Dan candy? OMG. Dokternya bahkan tidak menanyakan pola makan dan
pemberian obat untuk Raya sebelumnya pada kami.
Dokter mendiagnosis Raya terkena pneumonia dan harus segera
di-opname. Saya dan suami terdiam, saling pandang, saling kirim kode. Kami bersikeras kalau
Raya jangan di opname sampai ada hasil lab. Kami keluar ruangan dokter dengan
resep obat dan vitamin (yang lagi-lagi ditulis tanpa memberi informasi detail dan tanpa menanyakan riwayat obat yang sudah diberikan). Dan surat rujukan
untuk melakukan cek darah, rontgen paru-paru dan nebulizer di rumah sakit
tersebut. Kami ikuti. Sambil tetap
berusaha hubungi dokter langganan Raya.
Mungkin memang semua prosesnya harus dilalui, tempat praktek dokter
langganan baru bisa dihubungi setelah nebulizer, hasil rontgen dan hasil cek darah keluar.
Pembacaan hasil rontgen sesuai dengan perkataan dokter sebelumnya, Raya harus
opname. Tapi dengan sopan kami katakan bahwa kami akan cari second opinion dulu
sebelum memutuskan apakah Raya akan opname atau tidak. Obat dalam resep tidak
kami tebus. Kami pulang.
Sore itu, kami bertiga pergi ke dokter langganannya
Raya. Panas tubuhnya sudah mulai turun. Bahkan anaknya sudah lari-larian ketika
menunggu antrean dokter.
Sampai giliran Raya untuk diperiksa. Dokternya mulai
menanyakan dengan detil ihwal sakitnya Raya. Panas badannya dari hari ke hari,
jam berapa panas jam berapa panasnya turun. Pola pemberian obat panas, nafsu
makan, gejala sakit, dll. Semua. Detail.
Selesai wawancara, dokternya mulai melihat hasil tes darah
dan rontgen dari raya. Menurut diagnosa dokternya, Raya terkena bronkhitis. Boleh rawat jalan
dengan pengawasan lebih mendetail lagi pada kondisi badan dan lingkungan
sekitarnya. Malam itu, keluar dari ruangan dokter, Raya di-nebul lagi. Obat
baru yang diresepkan cuma obat untuk pileknya, tanpa anti-biotik. Obat panas dan
batuk masih menggunakan sebelumnya.
Malamnya, Raya tidur nyenyak. Suhu badan normal. Bernapasnya
juga sudah lebih ringan. Obat panas hanya diberikan jika suhu badannya naik,
dan obat pilek diberikan selama 3 hari ke depan (atau kurang jika pileknya
sudah hilang). 3 hari berturut-turut, setiap malam, kami balik ke tempat
praktek dokternya untuk nebulizer. Panas badan Raya tidak naik lagi semenjak
hari pertama ke dokter.
Alhamdulillah.
Kami bersyukur masih diberi pikiran sehat dalam keadaan
terdesak. Sebagai pasien, kami sadar kami tidak memiliki latar belakang
pendidikan yang berhubungan dengan dunia kesehatan. Tetapi kami pun sadar, kami
berhak tahu dan paham mengenai kondisi tubuh (anak) kami.
Mengenai apa-apa yang akan diberikan pada tubuh (anak) kami. Kami berhak untuk
berkonsultasi dan berdiskusi mengenai kondisi kesehatan badan (anak) kami.
Buat kami, ke dokter bukan sekedar buat sembuh, tapi juga
buat evaluasi gaya hidup. Percuma kan sembuh, tapi penyebab penyakitnya ga ikut
dihilangin. Bakal kena sakit yang sama terus-terusan sampe bosen.
;*
Nebul hari kedua, sebelum pergi kondangan