Tuesday, 9 May 2017

Sandal Jepit Pengingat

Raya, 18,5 bulan

Dulu saya suka menganggap kalau selera anak kecil itu adalah sepenuhnya selera ayah/ibu atau orang-orang dewasa  terdekatnya. Kalau anaknya dandan warna-warni tabrak warna atau malah monokrom, ya itu selera orang tuanya. Pikiran saya, anak ya bakal nurut-nurut aja dikasi apa aja, asalkan dipuji-puji cantik/ganteng/bagus dll.
Kemudian, setelah ada Raya, saya sadar. Saya tidak sepenuhnya benar. Belakangan, hampir setiap habis mandi atau mau keluar rumah, saya harus minta persetujuannya untuk pakaian yang akan dia pakai. Dari kepala sampai ujung kaki. Bukan cuma soal pakaian, makanan, keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, apapun hal-hal yang melibatkan dia. Anak seumur ini sudah siap dan bisa untuk berdiskusi. Pendiriannya biasanya akan berubah ke arah kebaikan jika alasan-alasan yang saya berikan dapat diterima oleh Raya.

Ada cerita lucu yang menurut kami juga menjadi pembelajaran besar untuk kedepannya.
Suatu hari, karena ngebet pengen ngajarin Raya pake sandal jepit, saya nitip beli sandal jepit anak-anak ke pengasuhnya. Dibeliin di pasar depan rumah. Sandal jepit karet warna kuning jreng. Dengan alasan, hanya warna itu yang nomernya pas di kaki Raya. Sampai rumah, dengan gembira sendal langsung dipakaikan di kakinya.

Anaknya nolak-nolak.

'Ga mau ga mau'

Sambil hentak-hentak kaki.

Ok.Kemudian sandalnya disimpan. Sore itu, dibawa pulang kerumah, dengan harapan nantinya anaknya mau memakainya sendiri. Sampai anaknya tidur malem, sandal itu tidak tersentuh. Anaknya selalu bilang 'ga mau ga mau' sambil menjauh setiap diminta menggunakan sandal barunya. Padahal sudah diiming-imingi dengan kata-kata 'biar kakinya ga kotor, sendal baru, sendal bagus, sendal ganteng.......'

Seminggu kemudian. Dua minggu kemudian. Anaknya masih menolak mengenakan sandal tersebut. Makin hari, penolakannya makin keras. Bahkan suatu hari, saya memergoki Raya meletakkan sandal tersebut di luar rumah. Baiklah nak, sudah sampai sini, Ibu minta maaf.
Maaf karena telah mengecilkanmu.

Minggu ketiga, sepulang kantor dalam perjalanan pulang ke rumah, Raya ikut ke toko sepatu. Memilih sendiri sepatu yang mana. Well, anak ibu sudah besar. Saya cuma bisa senyum-senyum sendiri ngeliat Raya berkeliling rak sepatu, berhenti beberapa saat di depan sepatu yang dia minati, kemudian berlalu lagi. Senyum-senyum sendiri melihat bagaimana dia berinteraksi dengan tante spg. Dia dengan kesadarannya sendiri bisa mengatakan 'ga mau' pada alas kaki yang tidak diminati. Pada beberapa alas kaki yang menarik perhatiannya pun, dia katakan 'ga mau' setelah dicoba berjalan kesana-kemari.

Pilihan jatuh pada sandal karet tertutup bermotif jaring spiderman, Berwarna merah hitam, dengan pin spiderman di bagian depannya. Awalnya dia ragu-ragu. Diam saja ketika dicoba pakaikan oleh tante SPG. Kemudian berjalan sana-sini mematut-matutkan diri. Kemudian menghampiri saya.

'Aya mau aya mau'

Baik nak. Ini pilihanmu. Setelah cek kondisi alas kaki, bayar di kasir, kemudian pulang.
Sandal itu sampai hari ini selalu menemani kakinya. Kemanapun Raya melangkah. Sekedar ke warung depan, atau pergi agak jauh dengan pakaian rapi.

Sandal pilihan Raya vs sandal yang dipilihkan. Pin spidermannya bahkan sudah hilang 1

Well, pelajaran besar bagi saya dan bapaknya. Kami diingatkan. Diingatkan sekali lagi bahwa anak adalah titipan. Mengingatkan kami bahwa anak (meskipun terlahir dari rahim saya) adalah juga seorang manusia. Manusia yang memiliki pemikirannya sendiri. Manusia yang memiliki dirinya sendiri seutuhnya. Mengingatkan kami untuk bersiap diri, bersiap untuk berdiskusi, bahkan berdebat dengan data dan cinta.


Maka kami percaya kalau perbedaan pendapat dan pemikiran tidak akan mendinginkan hubungan darah kami nantinya. Agar hubungan Bapak -Ibu - Raya - dan (mungkin) adik(-adiknya) nanti benar-benar terikat secara emosional, bukan hanya sekedar kewajiban pertalian darah.

Insya Allah ya

Raya, dengan pakaian pilihannya,

With Love,
Ibu - Bapak


Thursday, 4 May 2017

Duo Serigala

Duo Serigala


Kemarin, seharian ngeliat ini foto seliweran di explore IG. Beberapa akun gosip IG bahkan juga mengangkat foto ini, beberapa dengan lingkaran merah memperjelas maksudnya. Pertama kali lihat, sebagai sesama perempuan saya merasa kasihan. Dalam pikiran saya, uang dan ketenaran yang didapat dari pamer tetek seperti itu tentunya tidak sebanding. Meskipun mungkin itu menyembul tanpa sengaja.

Dalam logika saya. Tetapi saya bisa saja salah.

Foto tersebut saya printscreen. Saya kirim ke suami. Saya tunggu tanggapannya.

Logika saya, sebagai lelaki, dia tentunya menikmati hal-hal semacam itu.

Saya salah, dia seorang bapak sekarang. Risih. Jijik. Prihatin. Jangan salah sangka dengan mengira reaksi suami seperti itu karena saya yang bertanya. Sejak awal, hubungan kami terbuka. Suami tidak sungkan mengungkapkan pujiannya pada perempuan cantik atau berbadan bagus di depan saya. Vice versa, sayapun demikian.

Tidak mau terlalu dalam mengutuki orang-orang yang mencari uang di jalan itu. Saya yakin, mereka tidak sendiri. Mengutuki dan sumpah serapah tidak akan mengubah keadaan apapun. Mendoakan mereka, apalah arti doa saya yang jauh dari sempurna ini.

Diskusi ringan sore itu membulatkan tekad kami sebagai orang tua.

Anak, lelaki atapun perempuan, diberi pendidikan yang bagus. Kasi ilmu agama yang baik. Kasi dorongan positif biar bakatnya berkembang. Dikasi rumah yang homey biar anaknya bahagia. Diberi ruang positif untuk pengembangan ide-idenya. Memiarkan anak tumbuh menjadi manusia mandiri.
Berdoa dan mendidik ke arah kebaikan. Sambil terus berusaha memperbaiki diri.

Banyak ya keinginannya?

Doa kami, agar anak(-anak) nantinya menjadi manusia dewasa utuh dan bahagia. Hingga ga perlu sampe melakukan hal-hal negatif semacam itu hanya untuk penghidupan dan gaya hidup.
Semoga semesta mendengar dan membantu kami mewujudkannya.


Insya Allah.