Sunday, 4 March 2012

2012 02 25 Pasar Badung

Sejak kecil saya tidak pernah suka kalau mama mengajak saya ke pasar. Saya dua kali pindah rumah, dan entah kenapa keduanya dekat dengan pasar tradisional. Bayangan pasar tradisional yang becek, kumuh, bau, ramai selalu berhasil menyurutkan bakti saya pada mama (untuk mengantarnya ke pasar) ;)

Malam itu saya tiba-tiba saja mengusulkan untuk pergi ke Pasar Badung. Setelah lama tidak pergi berdua, pasar tradisional tentunya bukan tempat romantis untuk menghabiskan malam berdua. Tapi, kami berdua memang bukan pasangan romantis yang menghabiskan malam dengan saling memuji dan mengumbar kata-kata cinta.


Segelas kopi dan sepiring tipat santok ini menjadi pengantar petualangan kami malam itu. Lampu bohlam remang dengan suara percakapan seru khas ibu-ibu antara ibu penjual dan pembelinya yang lain. Suasana akrab antara pedagang dan pembeli.

Seorang gadis kecil merengek kepada ibunya yang sedang menunggu giliran pesanan tipat santok. Minuman dalam kemasan berwarna-warni menarik perhatiannya. Merengek dan berteriak lebih keras ketika ibunya tidak mempedulikan permintaannya. Tanpa menghentikan pekerjaannya, ibu penjual menjawab ‘be ade nak kal meli to geg, sing dadi jemak(sudah ada yang beli itu nak, tidak boleh diambil)
Saya terkejut. Seorang ibu penjual tipat santok, yang omsetnya tidak seberapa, memilih untuk kehilangan pendapatan daripada kehilangan kepercayaan pelanggan ;) 

 Dari sini, pasar terlihat penuh warna. Warna yang menarik-narik saya untuk segera masuk ke dalamnya dan menjelajah disana ;)

Dan membiarkan pikiran saya terbang kesana-kemari mengartikan objek yang tertangkap mata.  Di tengah pasar yang makin malam makin ramai. Pasar tradisional yang bersahaja, yang juga tak pernah lupa, dengan caranya sendiri, untuk mengingat sang pencipta.




Menjelajah setapak diantara lapak pedagang. Menikmati wangi kelapa serut yang tiba-tiba tergantikan aroma amis kaki ayam. Percakapan tawar menawar antara pedagang dan pembeli, keluhan pedagang tentang mahalnya uang sekolah, pembeli yang marah karena harga terlalu mahal, tanpa musik dangdut yang menjadi trade mark pasar tradisional.

Melewati  jembatan saya menyebrang menuju ke sisi seberang dari pasar. Berjalan diantara tumpahan air rendaman ikan. Terkejut karena menemukan penjual jaje bali (jajanan khas Bali) diantara ibu-ibu pengupas kulit ikan. Terus berjalan sampai ke sudut gelap pasar yang tak terjamah keramaian. 

  


Berjalan kaki disini harus hati-hati. Selain ramai dan becek juga harus waspada pada kendaraan bermotor. Jalan diantara lapak pedagang itu merupakan hak milik bersama antara pejalan kaki, kendaraan niaga, dan sepeda motor. 



Kemudian memutuskan untuk naik ke lantai atas salah satu bangunan pasar yang sudah tutup.
Dari sisi dan ketinggian ini, saya dapat melihat kearah keramaian pasar dari perspektif yang berbeda. Menjadi istimewa karena malam itu kami berada di ketinggian ini secara ilegal. Melihat kearah salah satu jembatan yang menghubungkan dua bagian pasar ini. 
Tidak ada suara musik khas pasar malam, hanya suara percakapan, klakson motor, dan langkah kaki yang terdengar dari atas sini. 
Somehow, it feels so great up here.




Ternyata, saya menikmati ketidakteraturan sequence yang saya rasakan disini ;)


No comments:

Post a Comment