Friday 9 June 2017

Sakitnya Raya


Sedikit kilas balik kejadian sakitnya Raya yang lumayan bikin ibunya lumayan panik. 

Disclaimer dulu ya, sebelum lanjut cerita :
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mendiskreditkan profesi atau rumah sakit tertentu. Murni hanya untuk berbagi pengalaman pribadi.

Manggala Raya, menjelang 18 bulan (19 April 2017)

Alhamdulillah, Raya termasuk anak yang jarang banget sakit. Meskipun begitu, obat batuk pilek panas yang generik + termometer selalu tersedia di kantong obatnya Raya. 
Pokoknya selalu merasa well prepared, pede, dan tenang.

Katanya, anak-anak rentan sekali terpapar virus. Apalagi jika ada teman sepermainannya yang sudah sakit duluan, namanya anak-anak ya memang ga bisa kalo ga main bareng. Jadi waktu itu ada keponakan, temen mainnya Raya sehari-hari, yang sudah sakit pilek duluan, ya tetep aja ga mau misah mainnya. Awal sakit pilek, seperti biasa, ibunya tenang-tenang aja.

Sabtu, 25 Maret 2017. Raya pilek isi panas sedikit. Panasnya masih di area 37-37,4 °C. Belum minum obat. Kebetulan hari itu ada acara 3 bulanan saudara. Ibunya pede aja ngajak Raya kondangan. Anaknya hepi + ga bisa diem juga sih ya. Makannya masih bagus disini.

Oh iya, Raya sampai sekarang masih makan sayuran kukus + lauk yang ibunya buat sendiri. Belum kena makanan-makanan dan minuman-minuman ringan tak sehat, susu (selain ASI) pun belum. Ibunya masih bisa galak ke orang-orang sekitarnya :)

Minggu,  26 Maret 2017. Bapak Raya tiba di rumah siang harinya. Memang rencana mau liburan Nyepi bareng. Anaknya masih panas. Ibunya juga masih santai. Sekarang isi batuk sedikit. Mulai minum obat batuk + pilek  karena udah mulai susah bernapas, dan obat panas (kalau panas diatas 37,5 °C). Mulai susah makan. Tapi nyusunya tambah kenceng.

Senin, 27 Maret 2017. Batuk, pilek + panas. Disini Raya mulai bangun dini hari karena panas badannya tinggi. Jam 3 dini hari panasnya sampe 38,9 °C. Raya kami ajak pulang kampung di Tabanan (rumah asalnya Ibu) untuk liburan Nyepi. Rencana liburan pun kami urungkan.

Selasa, 28 Maret 2017. Nyepi. Masih batuk pilek + panas. Dan masih kebangun dini hari karena panas tinggi. Sama bapaknya sudah berencana, kalo sampe besok panasnya belum turun kita langsung ke dokter, karena sudah lewat 3 hari. Disini Raya masih anteng (dalam artian ga rewel), masih tetep ga bisa diem (biasanya ga bisa diem pake banget). Malemnya meskipun gelap, anaknya ga rewel. Anteng aja diajak nonton bintang sampe ketiduran.

Rabu, 29 Maret 2017. Dini hari, Raya kebangun. Nangis. Suhu badannya tinggi. 38,8 °C. Langsung minum obat penurun panas. Disusui sampe tertidur. Bangun paginya, bukannya seger. Anaknya malah lemes-lemes aktif, dan badannya masih agak anget. Bapak dan Ibu Raya langsung siap-siap balik Denpasar buat ke dokter.

Jalan utama Tabanan - Denpasar sehari setelah Nyepi (hari Ngembak Geni) adalah jalur padat merayap ramai banget. Sepanjang jalan, Raya yang biasanya duduk sendiri di carseat-nya saya pangku. Sambil terus saya susui. Suhu badannya masih anget. Sepanjang perjalanan masih berupaya menelpon ke klinik tempat dokter anaknya praktek. Masih belum diangkat. Sepertinya masih tutup ya? Nyepi dan Ngembak Geni adalah hari libur umum di  Bali. Saya tidak punya (tidak pernah menanyakan sebelumnya) nomer telepon dokter anak langganannya Raya.

Disini saya merasa bodoh. Bodoh karena tidak pernah menanyakan lokasi praktek lain dokternya. Bodoh karena tidak pernah menanyakan nomer telepon dokternya yang bisa dihubungi pada situasi darurat seperti sekarang.

Sampai akhirnya pasrah. Karena mikirnya juga sama-sama dokter anak, yang penting diperiksa dulu biar ketahuan ini sakitnya apa. Akhirnya buat janji ke dokter anak di suatu rumah sakit. Bukan dokter anak langganannya Raya. Dapet nomer terakhir di dokter anak yang buka, sambil terus berusaha menghubungi tempat praktek dokter anak langganannya.
Masuk ruangan dokter. Ada yang aneh. Dokternya langsung membuat kesimpulan-kesimpulan. Tanpa bertanya detail mengenai kondisi Raya. Yang membuat saya dan suami terhenyak adalah ketika dokter anak tersebut langsung memberikan obat anal (tanpa bertanya dan memberi penjelasan mengenai obat tersebut sebelumnya) kemudian mengatakan 'no candy sayang untuk sementara, no ice cream'.

Well, Raya anak kami. Sudah hak kami untuk mengetahui segala jenis obat dan pengobatan yang diberikan pada Raya. Dan candy? OMG. Dokternya bahkan tidak menanyakan pola makan dan pemberian obat untuk Raya sebelumnya pada kami.

Dokter mendiagnosis Raya terkena pneumonia dan harus segera di-opname. Saya dan suami terdiam, saling pandang, saling kirim kode. Kami bersikeras kalau Raya jangan di opname sampai ada hasil lab. Kami keluar ruangan dokter dengan resep obat dan vitamin (yang lagi-lagi ditulis tanpa memberi informasi detail dan tanpa menanyakan riwayat obat yang sudah diberikan). Dan surat rujukan untuk melakukan cek darah, rontgen paru-paru dan nebulizer di rumah sakit tersebut.  Kami ikuti. Sambil tetap berusaha hubungi dokter langganan Raya.
Mungkin memang semua prosesnya harus dilalui, tempat praktek dokter langganan baru bisa dihubungi setelah nebulizer, hasil rontgen dan hasil cek darah keluar. Pembacaan hasil rontgen sesuai dengan perkataan dokter sebelumnya, Raya harus opname. Tapi dengan sopan kami katakan bahwa kami akan cari second opinion dulu sebelum memutuskan apakah Raya akan opname atau tidak. Obat dalam resep tidak kami tebus. Kami pulang.

Sore itu, kami bertiga pergi ke dokter langganannya Raya. Panas tubuhnya sudah mulai turun. Bahkan anaknya sudah lari-larian ketika menunggu antrean dokter.
Sampai giliran Raya untuk diperiksa. Dokternya mulai menanyakan dengan detil ihwal sakitnya Raya. Panas badannya dari hari ke hari, jam berapa panas jam berapa panasnya turun. Pola pemberian obat panas, nafsu makan, gejala sakit, dll. Semua. Detail.
Selesai wawancara, dokternya mulai melihat hasil tes darah dan rontgen dari raya. Menurut diagnosa dokternya, Raya terkena bronkhitis. Boleh rawat jalan dengan pengawasan lebih mendetail lagi pada kondisi badan dan lingkungan sekitarnya. Malam itu, keluar dari ruangan dokter, Raya di-nebul lagi. Obat baru yang diresepkan cuma obat untuk pileknya, tanpa anti-biotik. Obat panas dan batuk masih menggunakan sebelumnya.

Malamnya, Raya tidur nyenyak. Suhu badan normal. Bernapasnya juga sudah lebih ringan. Obat panas hanya diberikan jika suhu badannya naik, dan obat pilek diberikan selama 3 hari ke depan (atau kurang jika pileknya sudah hilang). 3 hari berturut-turut, setiap malam, kami balik ke tempat praktek dokternya untuk nebulizer. Panas badan Raya tidak naik lagi semenjak hari pertama ke dokter.

Alhamdulillah.

Kami bersyukur masih diberi pikiran sehat dalam keadaan terdesak. Sebagai pasien, kami sadar kami tidak memiliki latar belakang pendidikan yang berhubungan dengan dunia kesehatan. Tetapi kami pun sadar, kami berhak tahu dan paham mengenai kondisi tubuh (anak)  kami. Mengenai apa-apa yang akan diberikan pada tubuh (anak) kami. Kami berhak untuk berkonsultasi dan berdiskusi mengenai kondisi kesehatan badan (anak) kami.

Buat kami, ke dokter bukan sekedar buat sembuh, tapi juga buat evaluasi gaya hidup. Percuma kan sembuh, tapi penyebab penyakitnya ga ikut dihilangin. Bakal kena sakit yang sama terus-terusan sampe bosen.
;*


Nebul hari kedua, sebelum pergi kondangan